PAPER KAJIAN (BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI) PIODALAN PADMASANA (WIDYA MAHA AMRTA UNIVERSITAS UDAYANA)

 

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Mahaesa, karena atas rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih banyak atas bantuan – bantuan dari pihak yang telah berkontribusi pada pembuatan makalah ini.

            Dan kami harap semoga makalah yang telah kami buat ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca sekalian. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata Bahasa. Oleh karena itu kami dengan sangat terbuka menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar untuk kedepannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Denpasar, 7 Desember 2018

 

 

Penyusun

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

      Piodalan merupakan salah satu hari raya besar dalam upacara keagamaan Hindu. Piodalan termasuk dalam rangkaian upacara Dewa Yadnya yang ditunjukan kepada Ida Sang Hyang Widhi pada sebuah pura atau tempat suci, dimana saat hari besar atau odalan tersebut berlangsung, dipimpin oleh orang suci seperti Pemangku ataupun Pendeta.

      Piodalan sendiri memiliki hari suci yang ditetapkan di setiap pura di Bali. Jatuhnya hari piodalan/odalan dari tempat suci tersebut, berdasarkan perhitungan sasih yang merujuk pada kalender Saka yang jatuhnya setiap 1 tahun sekali dan berdasarkan perhitungan wuku yang merujuk pada kalender Bali yang jatuhnya setiap 6 bulan sekali.

      Lalu, bagaimanakah bentuk,makna, dan fungsi dari piodalan pada Padmasana Widya Maha Amrta? Untuk mengetahui lebih lanjut tentang itu maka disusunlah makalah ini.

 

1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1.      Apa yang dimaksud dengan piodalan/odalan?

2.      Apa makna odalan di Padmasana Widya Maha Amrta?

3.      Apa  fungsi odalan di Padmasana Widya Maha Amrta?

 

1.3  Tujuan Makalah

Adapun tujuan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah yang ada, yaitu:

1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan piodalan/odalan.

2.      Untuk mengetahui makna odalan di Padmasana Widya Maha Amrta.

3.      Untuk mengetahui fungsi odalan di Padmasana Widya Maha Amrta.

1.4  Manfaat Makalah

Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan piodalan/odalan.

2.      Dapat mengetahui makna odalan di Padmasana Widya Maha Amrta.

3.      Dapat mengetahui fungsi odalan di Padmasana Widya Maha Amrta.



BAB II

PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian Odalan

A.             Pendahuluan

Piodalan adalah wujud bhakti sebagai usaha untuk mencapai jagadhita yang dalam babad Bali, piodalan juga disebut sebagai:

·       Petirtayan, 

·       Petoyan, dan 

·       Puja wali

Piodalan yang utamanya sebagai kelompok upacara dewa yadnya ini merupakan upacara yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya yang pujawalinya dipimpin oleh seorang pemangku di tempat suci masing - masing dengan cara :

·       Nglinggayang atau 

·       Ngerekayang (ngadegang) 

·       Dalam hari-hari tertentu yang dilaksanakan dengan sembahyang bersama.

Arti kata "Piodalan" juga disebutkan berasal dari kata wedal yang artinya ke luar, turun atau dilinggakannya yang dalam hal ini pengertiannya disebutkan, Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya yang keluar dari kahyangan dan dilinggakan atau distanakan menurut hari yang telah ditetapkan untuk tempat - tempat suci seperti  pemerajan / sanggahpura dll agar umat dapat melaksanakan persembahyangan.

Pelaksanaan piodalan yang diawali dengan pesucian Ida Bhatara di Beji sebelum piodalan dilaksanakan, seluruh arca / pratima sebagai simbol Hyang Widhi yang sakral disucikan terlebih dahulu di pura beji bersangkutan oleh seluruh krama yang dipimpin oleh pemangkusebagai sulinggih di pura Beji tersebut. Seperti yang dikutip dalam kalender bali, piodalan juga merupakan perayaan hari suci di pura yang biasanya dilakukan secara periodik baik berdasarkan atas sasih, wuku atau pawukon dll.

Setiap Upacāra  (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra  (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra  tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra  harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto”.

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.

Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan: “sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (Upakāra)  adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta). Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

 

B. Landasan Yajña:

Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar Yajña tersebut berkualitas sattvam, karena hanya kualitas Yajña yang sattvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan Yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan Yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu:

1.    Iksa; tujuanyng ingin dicapai melalui Yajña tersebut harus jelas

2.    Sakti; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang.

3.    Desa; disesuaikan dengan tempat dimana Yajña itu akan dilakukan,  kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan

4.    Kala; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga Yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif

5.    Tattva; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Śruti, Smṛti, maupun Nibandha.

Disamping hal tersebut di atas, agar Yajña tersebut berkualitas śāttvam harus memenuhi standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14, yaitu:

Ø  Śraddhā; dilakukan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati

Ø  Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra

Ø  Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi

Ø  Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi

Ø  Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati

Ø  Daksina; pemberian penghormatan berupa Rsi Yajña kepada Sang Sadhaka (pandita/pinandita)

Ø  Annaseva; menjamu  dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani

Ø  Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.

Ø  Segar dan menyehatkan; setiap banten yang dibuat haruslah banten yang segar, tidak basi, busuk, dan kering / layu, sehingga prasadamnya dapat memberikan dampak kesehatan  Jasmani & Kemurnian Rohani

C. Struktur Banten / Upakāra

1.          Struktur Banten / Upakāra Pejati

Þ      Struktur untuk banten pejati dipresentasikan oleh Mpu Lutuk sebagai Hulu atau Uttama Angga.

Þ      Kriteria untuk menentukan tingkatan Upakāra atau banten disebut kanistama (sederhana), Madhyama (sedang), dan Uttama (besar) adalah banten jenis pejati yang ada di Sanggar Pesaksi atau Sanggar Surya atau pelnggih Pokok (Padmasana). Sanggar Pesaksi atau Sanggar Surya ini ada yang Rong Satu disebut Sanggar Tutuan, dan yang Rong Tiga disebut Sanggar Tawang.

Þ      Banten yang dipersembahkan pada Sanggar Pesaksi dan Pelinggih Pokok akan menjadi pedoman manurut Lontar Widhi Sastra dalam menentukan banten yang patut dihaturkan pada pelinggih-pelnggih dan Bale Sakral yang ada di pura. Contoh misalnya di pura itu ada pelinggih pokok (Padmasana) dan ada pelinggih Pengiring dan ada pula Bale Sakral. Pelingih pengiring ini ada yang setara dengan pelinggih pokok seperti:  Taman Sari, dan ada yang tidak setara, seperti: Anglurah.  Jika banten yang dipersembahkan di Sanggar Pesaksi adalah Suci Laksana, maka di pelinggih pokok adalah sama yaitu Suci Laksana demikian juga pada pelinggih yang setara dan Bale Sakral (Bale Pawedan, Bale papelik, Bale Pahiyasan). Pada pelinggih yang tidak setara (Anglurah) adalah Suci Alit  dan pelinggih dibawahnya adalah Suci Sari seperti pelinggih Pengapit lawang atau Dwara Pala.

ü  Tingkatan Upakāra Pejati

·         Upakāra yang sederhana (Kanistama), jika Pejati di Sanggar Pesaksi (Sanggar Surya) mempergunakan:

Peras – Daksina        : Kanistamaning kanistama

Suci                        : Madhyaning kanistama

Dewa-Dewi              : Uttamaning kanistama

·         Upakāra yang sedang (Madhya), jika Pejati di Sanggar Pesaksi (Sanggar Surya) mempergunakan:

Dewa-Dewi              : Kanistamaning madhyama

Catur Rebah            : Madyaning Madhyama

Catur Niri                 : Uttamaning Madhyama

·         Upakāra yang besar (Uttama) , jika Pejati di Sanggar Pesaksi (Sanggar Surya) mempergunakan:

Catur Niri (lantaran Angsa)                      : Kanistamaning uttama

Catur Niri (lantaran Kambing)                            : Madhyaning uttama

Catur Niri Masambada (lantaran Kerbau)    : Utamaning uttama

2.             Upakāra atau Banten Tataban (Ayaban)

·         Wṛhaspati Kalpa Alit:

1.  Pengulap – Pengambean

2.  Suci

3.  Pulagembal

4.  Pulagembal dan Bebangkit

5.  Catur Rebah – Padudusan Alit

·         Wṛhaspati Kalpa Agung:

1.      Catur Niri – Padudusan Agung – Mapaselang – Tapakan       Bhatara:        Angsa

2.      Catur Niri – Padudusan Agung Kanisatama – Mapaselang–Tapakan        Bhatara:        Kambing

3.      Catur Niri – Padudusan Agung Madhyama – Mapaselang –    tapakan        Bhatara:        Kerbau.

4.      Catur Niri – Padudusan Agung Utama – Mapaselang – tapakan        Bhatara:        Kerbau

3.             Upakāra atau Banten Sor (Lontar: Sundarigama)

1.      Upakāra pada tingkatan sederhana (kanistama) disebut: Segehan, misalnya segehan acacahan, segehan panca warna, dan segehan agung

2.      Upakāra pada tingkatan sedang (madhyama) disebut: Caru, misalnya caru eka sata, caru manca sata, caru manca sanak, caru manca kelud, dll

3.      Upakāra pada tingkatan besar (uttama) disebut Tawur, pada tingkatan Upācāra tawur ini mempergunakan lebih dari tiga jenis binatang. Untuk tingkatan tawur ini maka sebelum dibuat sate dan olahannya maka dilakukan Upācāra Mapepada terlebih dahulu.

4.        Sorohan atau Kumpulan Upakāra Pejati

1.      Sorohan Banten Suci :

2.      Menurut Lontar Medang Kamulan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:

·         Suci Alit (Suci Nanampan atau Suci Sibakan ) – 4 buah tamas

·         Suci Laksana (Suci  Bungkulan) – 6 buah tamas

·         Suci Gde (Suci Tibaro) – 8 tamas

3.      Menurut Lontar Kusuma Dewa (Indik Tetandingan) terbagi menjadi enam jenis yaitu:

·         Suci Lekah (Suci Babungkul) – 1 buah tamas

·         Suci Sari (Suci Tumpukan ) – 3 buah tamas

·         Suci Bunga (Suci Siabakan Alit) – 5 buah tamas

·         Suci Kerama (Suci Sibakan Ageng) – 7 buah tamas

·         Suci Pejati (Suci Laksana) – 8 buah tamas

·         Suci Sejati (Suci gening) – 10 buah tamas

4.      Sorohan Banten Dewa-Dewi:

Kalau sorohan banten suci dapat digunakanuntuk melengkapi Upakāra yang lain , maka banten dewa-dewi selalu ditempatkan di Sanggar Pesaksi dan di Pelinggih Pokok (Padmasana), sebagai simbol Purusa-Pradhana.

5.      Sorohan Banten Catur – Lontar Indik Karya:

Perbedaan antara Catur rebah, Catur Niri adalah pada Catur Rebah sanggar Pesaksinya (sanggar surya) memakai rong satu (Tutuan), sedangkan Catur Niri memakai rong tiga (Tawang), banten Catur biasanya dilengkapi dengan banten Guru dan Banten Gana

 

D. Rancangan Upakāra Piodalan

Piodalan di Pura Maha Widya Amrtha Kampus Sudirman Universitas Udayana yang dilaksanakan setiap 1 tahun sekali yaitu pada rahina purnama kapat tersebut mengambil piodal setingkat bebangkit, yang pada intinya memiliki perbedaan pada persembahan yang dipakai yaitu menggunakan babi guling sebagai salah satu sarana upacaranya.

A. Upakāra Nuasin Karya:

Þ    Padmasana: Peras, Daksina, Soda, Katipat kelanan, di bawah segehan cacahan putih kuning.

Þ    Taman Sari: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, di bawahnya segehan cacahan putih kuning.

Þ    Pengempon Tirtha: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, di bawahnya segehan cacahan hitam.

Þ    Anglurah: Peras, Daksina di bawahnya segehan cacahan hitam.

Þ    Banten tiap sudut: sanggah cucuk 4 set, soda 4 set, canang sari 4 set, ceniga 4 set, gantung-gantungan 4 pasang, di bawah sanggah cucuk @ segehan cacahan putih (tangkih 7).

Þ    Banten ngingsah/ tapeni: pejati, bahan – bahan Upakāra selengkapnya dijadikan 1 tempeh, daksina taksu (daksina mepayas), rantasan putih kuning, segehan cacahan.

Þ    Dapur Suci:  Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, di bawahnya segehan cacahan merah.

Þ    Bale Pawedan, Bale Papelik:  Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, Segehan cacahan

Þ    Candi Agung, Bale Kulkul, Candi Bentar, Pemedal Agung:  masing-masing soda, dan segehan.

Þ    Arepan Memuja: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, Prayascitta, byakala,   Pengulapan, segehan cacahan

B. Upakāra Nunas Tirtha ke pura-pura:

1.  Upakāra Matur Piuning Di Pura:

Þ    Padmasana: peras, daksina, soda, katipat kelanan, penastan, di bawahnya segehan cacahan putih kuning.

Þ    Pelinggih pokok yang lainnya: soda, dan segehan

Þ    Arepan memuja: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, Prayascitta, Byakala, Pengulapan, segehan cacahan.

Þ    Upakāra Nunas Tirtha: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan , Tempat tirtha, canang sari lepas 5 tanding, segehan cacahan, dupa, petabuh arak-berem-tuak.

C. Upakāra Piodalan / Pujawali

Þ    Sanggar Surya: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, penastan, rantasan putih kuning, lamak, gantung-gantungan, uduh, peji, pisang lalung, di bawahnya segehan cacahan, penjor yajña lengkap dengan sanggah cucuk dengan bantennya: soda

Þ    Padmasana: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan , Daksina Linggih, penastan, rantasan, sesayut amertha dewa, lamak, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Lapaan / panggungan: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, ayaban tumpeng pitu,  sesayut siddha karya, sesayut siddha sampurna, sesayut dewa rame rawuh,   sesayut guru piduka, sesayut pamuput karya, penastan, lamak, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Taman sari: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, daksina linggih, penastan, sesayut amerta sari, rantasan, di bawahnya segehan cacahan putih kuning

Þ    Pengempon Tirtha: Peras, Daksina, Soda, daksina linggih, rantasan, di bawahnya segehan cacahan hitam

Þ    Anglurah: Peras, Daksina, Soda, daksina linggih, rantasan, di bawahnya segehan cacahan hitam

Þ    Bale Papelik: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, penastan, rantasan, lamak, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Bale Pamujaan: Peras, Daksina, Soda, Katipat Kelanan), sesayut dharma wiku prayascitta, byakala, pengulapan, durmenggala, payuk pelukatan, ceniga, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan

Þ    Candi Agung: Soda 2 set, penjor 1, ceniga, gantung-gantungan 2 set, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Tapeni: Peras, Daksina, Soda, ceniga, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Dapur suci: Peras, Daksina, ceniga, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan merah.

Þ    Bale kulkul: Peras, Daksina, ceniga, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan putih kuning.

Þ    Candi Bentar: Soda 2 set, penjor 1, ceniga, gantung-gantungan 2 set, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Pemedal Agung: Soda 2 set, penjor 1, ceniga, gantung-gantungan 2 set, di bawahnya segehan agung.

Þ    Bale Gong: Soda, ceniga, gantung-gantungan, di bawahnya segehan cacahan putih kuning

Þ    Kanistama Mandala: Segehan Agung. Ada kalanya masih ada peluang untuk menghaturkan Caru Eka Sata: caru ayam brumbun, dengan urip 8, lengkap dengan banten ayaban caru, sanggah cucuk lengkap dengan bantennya peras penyeneng. Perlengkapan lainnya: sapu, tulud, kulkul, tetimpug, arak-berem-tuak-toya anyar. Atau dapat mengadopsi kearifan lokal masing-masing daerah yang memiliki tujuan dan makna yang sama dengan bhuta yajña.

Þ    Banten Gong: Peras, Daksina, ketipat gong, segehan cacahan.

D. Upakāra Panyineban

Þ   Sanggar Surya, Padmasana, Taman Sari: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, di bawah pelinggih segehan cacahan

Þ   Pengempon Tirtha, Anglurah:  Peras, Daksina, Soda, segehan cacahan

Þ   Bale papelik, Bale Pamujaan : Peras, Daksina, segehan cacahan

Þ   Asagan: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, sesayut pamuput karya, di bawah pelinggih segehan cacahan.

Þ   Pelinggih yang lainnya: masing-masing: soda, segehan

Þ   Arepan memuja : Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, segehan cacahan

E. Upakāra Ngelemekin

Þ    Sanggar Surya: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, penastan, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Padmasana: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan , penastan, di bawahnya segehan cacahan

Þ    Lapaan / Panggungan: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Taman Sari: Peras, Daksina, Soda, katipat Kelanan, di bawahnya segehan cacahan putih kuning

Þ    Pengempon Tirtha: Peras, Daksina, Soda, bawahnya segehan cacahan hitam

Þ    Anglurah: Peras, Daksina, Soda, di bawahnya segehan cacahan hitam

Þ    Bale Papelik: Peras, Daksina, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Bale Pamujaan: Peras, Daksina, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Candi Agung: Soda 2 set, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Tapeni: Soda, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Dapur Suci: Soda, di bawahnya segehan cacahan merah.

Þ    Bale Kulkul: Soda, di bawahnya segehan cacahan putih kuning.

Þ    Candi Bentar: Soda 2 set, di bawahnya segehan cacahan.

Þ    Pemedal Agung: Soda 2 set, di bawahnya segehan agung.

Þ    Bale Gong: Soda, di bawahnya segehan cacahan putih kuning.

Þ    Banten Guru Daksina kepada: pinandita, serati banten, panitia pujawali: masing – masing Peras, Daksina dan segehan cacahan.

 

2.2.      Makna Odalan

Upacara odalan memiliki makna sebagai pemujaan atau persembahan dalam perwujudan bakti kepada Hyang Widhi dalam berbagai manifestasinya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk upakara. Bakti, bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi terhadap hamba-Nya dan mohon Kasih-Nya agar kita mendapatkan berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat hidup dengan selamat. Upacara Odalan dapat dilaksanakan di Sanggah atau Pemerajan, di Pura atau Khayangan-khayangan dan ditempat-tempat suci yang setingkat dengan itu. Upacara Dewa Yadnya dapat dilakukan pada tiap-tiap hari dan ada pula yang dilakukan secara periodik (berkala). Upacara Dewa Yadnya yang dilakukan setiap hari dapat dilaksanakan dengan melakukan Puja Tri Sandya dan Yadnya Sesa. Sedangkan Upacara Dewa Yadnya yang dilaksanakan secara periodik, dapat dilakukan pada hari-hari tertentu, misalnya kebaktian yang dilakukan pada Hari Galungan, Kuningan, Saraswati, Ciwarartri, Purnama, Tilem, Piodalan-piodalan dan lain sebagainya, demikian pula dengan mengadakan Tirtha Yatra ke tempat-tempat suci. Salah satu Sloka yang tertuang dalam Bhagavad Gita mengenai Dewa Yadnya:

“Brahma rpanam brahma havir brahmagnau brhamana hutam brahmai va tena gantavyam brahma karma samadhina.” (bh.G.IV.24)

Artinya: Dipujanya Brahman, persembahyangannya Brahman oleh Brahman dipersembahkan dalam api brahman, dengan memusatkan meditasinya kepada Brahman dalam kerja ia mencapai Brahman.

Piodalan sendiri dapat diartikan sebagai perayaan hari jadi tempat suci. Upacara piodalan merupakan kewajiban karma desa dalam rangka membayar hutang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta seluruh manifestasinya yang disthanakan di pura kayangan desa. Piodalan ini terbagi menjadi dua yaitu (1) Piodalan alit (nyanang) dan (2) Piodalan Ageng dan di ikuti oleh seluruh warga karma baik yang tinggal di luar Desa maupun di desa itu sendiri yang terdiri dari berbagai dadia (klen). Piodalan yang dilaksanakan di pura kayangan desa ada yang melaksanakan setiap 6 (enam) sekali dan ada yang melaksanakan setiap satu tahun sekali. Tujuan dari upacara piodalan adalah untuk mewujukan kehidupan yang harmonis dan sejahtera lahir batin dalam masyarakat.

Dalam Lontar Sundari Gama ada disebutkan bahwa, barang siapa yang tidak memelihara dan tidak melaksanakan kewajiban di Pura Puseh  tentu masyarakat sekitarnya akan kekurangan sandang pangan, dan tidak terpeliharanya kehidupan masyarakat setempat karena Dewa Wisnu sebagai Pemelihara ( Stiti ) dengan Saktinya Dewi Sri yang menguasai makanan tidak akan merestui Nya.

Barang siapa yang secara tulus berbhakti dan melaksanakan kewajiban terhadap Pura Bale Agung, tentu masyarakatnya akan menjadi rukun dan tenteram, karena Dewa Brahma yang distanakan di Pura Bale Agung sebagai tempat untuk bermusyawarah, dan Saktinya Dewi Saraswati akan menebarkan pengetahuan kesucian agar menjadikan sama dalam perkataan, sama dalam perbuatan dan sama dalam pemikiran. Sehingga apa yang menjadi harapan bersama akan dapat terwujud dengan baik.

Dan barang siapa yang tulus berbhakti dan melaksanakan kewajibannya terhadap Pura Dalem, tentu masyarakat itu akan menjadi aman dan damai dan harmonis karena terhindar dari mara bahaya, karena Dewa Siwa / Iswara yang dipuja dengan Saktinya Dewi Durga  sebagai penguasa kematian dan  Dewi Uma akan senantiasa menjauhkan segala rintangan mara bahaya kepada umatnya. Bila terjadi ketidakharmonisan dimasyarakat maka akan dilakukan upacara  “ Guru Piduka “ kehadapan Betara di Pura Dalem, dan bila ketidakharmonisan itu muncul akibat mewabahnya “ sasab – merana “ maka upacara itu dipersembahkan kepada Dewi Durga / Uma sebagai penguasai kekuatan sasab merana.

 

Piodalan di Pura Maha Widya Amrtha memiliki beberapa makna, Antara lain

1.      Upaya kita memperingati hari dibangunnya Pura Maha Widya Amrtha yang menjadi simbolisasi tempat penstanaan Ida Shang Hyang Widhi dalam bentuk manifestasinya.

2.      Kita mengungkapan rasa syukur kepada Ida Sesuunan yang ada di Pura Maha Widya Amertha karena secara keseharian, para mahasiswa dan civitas akademisi khususnya yang beragama hindu di kampus Sudirman telah diberikan kelancaran, perlindunga dan rasa nyaman selama mereka beraktifitas disana

3.      Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah kita berupaya melenyapkan pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri.

4.      Upaya pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma dan tidak rakus/lobha.

5.      Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana (bijaksana) menuju Kṣṭrajña (kesadaran ilahi).

6.      Kita berusaha mengembangkan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu saṁsara  atau manunggaling kawulo lan gusti

2.3. Fungsi Odalan

Fungsi dari diadakannya piodalan di Pura Maha Widya Amrtha adalah

1.         Sebagai sarana atau media simbolisasi terhadap kepercayaan kita dengan keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan manifestasinya, karena berkat-NYA lah para civitas akademisi di Kampus Sudirman Universitas Udayana pada khususnya dan seluruh civitas akademisi Universitas Udayana pada umumnya yang selalu mendapat kemudahan dan keselamatan dalam melaksanakan kegiatan perkuliahannya.

2.         Sebagai sarana mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Hyang Maha Kuasa

3.         Sebagai sarana untuk melakukan permohonan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa agar slalu dilancarkan dalam mewujudkan cita-cita dan harapannya

4.         Sebagai sarana penyucian lahir dan batiniah agar apa yang kita lakukan slalu beraga dalam jalur yang berlandaskan konsep dasar kebaikan sesuai dengan konsep agama hindu bali.

5.      Sebagai sarana menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifat rahasia

6.      Sebagai sarana menyebrangkan Atma untuk mencapai Moksha

7.      Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi.

8.      Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana).

9.      Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.

10.  Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 11).



DAPFTAR PUSTAKA

 

1.      Tjatera, I. Wayan. (2007). “A Complementary Planning Perspective For Bali: Integated of Traditional Planning Into Contemporary Planning Process”. Jurnal Kajian Budaya, 1-15 Faculty of Economic, University of Udayana, Denpasar, Bali

2.      PARISADA HINDU DHARMA PUSAT. 1982. HIMPUNAN KEPUTUSAN SEMINAR KESATUA TAFSIR TERHADAP ASPEK-ASPEK AGAMA HINDU I –IX. http://phdi.or.id/uploads/Hasil_Kesatuan_Tafsir_1982_198.pdf. Diakses pada hari Kamis, 13 Desember 2018, pukul 18:00 WITA.

3.      Ristekdikti. 2016. BUKU AJAR MATA KULIAH WAJIB UMUM PENDIDIKAN AGAMA HINDU cetakan 1. http://www.polsri.ac.id/belmawa/Buku_Pedoman_Mata_Kuliah_Wajib_2016/4.%20PENDIDIKAN%20AGAMA%20HINDU.pdf. Diakses pada haari Jumat, 14 desember 2018, pukul 08:44 WITA.

4.       





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Harmfull Algae Blooming, Ciri khas, Kategori dari Harmfull algae blooming, Penyebab terjadinya HAB beserta Contoh Alga blooming

Pengertian Sel, Perbedaan sel eukariotik dan Prokariotik beserta contoh nya, serta contoh laporan praktikum sel eukariotik dan prokariotik